Sumber |
Terapi
Analisis Transeksional dan Terapi Rasional Emotif
I.
Terapi Analisis Transeksional
1.
Konsep
Terapi Analisis Transaksional
a. Konsep
Dasar Pandangan Tentang
Sikap Manusia
Analisis transaksional
berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan
manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis transaksional didasarkan
pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada
masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan
kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini
bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi
persoalan-persoalan hidupnya. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan
untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di
dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).
b. Perwakilan
Ego
Analisis
transeksional menggunakan suatu sistem terapi yang
berlandaskan pada teori
kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang terpisah; orang tua, orang
dewasa, dan anak. Menurut Corey
(1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi
dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali
oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita
dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan
cara yang sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita.
Ego orang tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua
dalam diri kita bisa “orang tua pelindung” atau “orang tua pengkritik”.
Ego
orang dewasa adalah pengolah data dan informasi, merupakan bagian objektif dari kepribadian,
juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi.
Dia tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan
ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan
pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya,
ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan,
“anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang
impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak
yang intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan
modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik,
tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya
memperoleh perhatian.
c. Skenario
Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario
kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal yang
dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami oleh kita sebagai orang
dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita belajar dan menetapkan
tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan verbal dan non verbal orang tua,
mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana merasakan diri kita.
Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai
pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan
“tidak OK”).
Hubungannya
dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan keputusan kita.
Dalam hal ini, konsep analisis
transeksional memiliki empat posisi dasar yaitu:
1) Pertama,
Saya OK—Kamu OK
2) Kedua,
Saya OK—Kamu tidak OK
3) Ketiga,
Saya tidak OK—Kamu OK
4) Keempat,
Saya tidak OK—Kamu tidak OK.
Masing-masing
dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil
dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya
dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor
atau kejadian tertentu) yang mengubahnya.
Posisi yang sehat adalah posisi
dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi
tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung
yang terbuka.
Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan
masalah-masalahnya
kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain, ciri pada
posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari orang lain dan
mempertahankan seseorang dari teralinasi.
Saya tidak OK—Kamu OK, adalah posisi
orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain
dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain
daripada keinginan diri sendiri.
Saya tidak OK—Kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan,
bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.
d. Kebutuhan
Manusia Akan Belaian
Pada
dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang
berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. Teori analisis
transeksional menekankan bahwa manusia memiliki
kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang
terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi
saya OK kamu OK di kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya bertumpu pada
penerimaan cinta di mana sikap defensif
menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima adalah ungkapan kenikmatan yang
spontan alih-alih respons terhadap upacara-upacara yang diprogram secara
social. Keakraban adalah hubungan
yang bebas
dari permainan karena tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris, 1967).
Jadi
salah satu cara teori analisis
transeksional menjabarkan tingkah laku manusia
adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh
belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari
pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui upacara-upacara
dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang diperoleh melalui suatu
hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.
e. Permainan-permainan
yang Kita Mainkan
Analisis transeksional
mengajari orang bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk membuat
putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya. Disamping itu, para tokoh analisis transeksional mengungkapkan
bahwa orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak.
Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain.
Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong
kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis transeksional,
orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka bisa
mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
Analisis transeksional memandang
permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian yang mengakibatkan
berlarutnya-larutnya perasaan tidak enak. Permainan-permainan boleh jadi
memperlihatkan keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam
transaksi-transaksi memainkan permainan menciptakan jarak di antara mereka
sendiri dengan mengimpersonalkan pasangannya. Transaksi itu setidaknya
melibatkan dua orang yang memainkan permainan. Transaksi permainan akan batal
jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan
kemudian memutusakan untuk tidak lagi memainkannya.
Segitiga
drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami
permainan-permainan. Pada segitiga terdapat seorang penuntut, seorang
penyelamat, dan seorang korban.
2.
Tujuan Terapi Analisis
Transaksional
Terapi analisis transaksional sebenarnya
bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang
terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan). Berne menegaskan bahwa
tujuan bukanlah mendapatkan suatu wawasan, melainkan penyembuhan. Beberapa
terapis menyamakan penyembuhan dengan penyelesaian kontrak perawatan antara
klien dan terapis. Namun Berne sendiri tidak melihat penyembuhan sebagai
peristiwa tunggal, namun progresif yang berlangsung dalam empat tahap, yaitu:
·
Kontrol sosial
Pada tahap ini klien
mungkin masih merasakan ketidaknyamanan dan kesulitan sehingga ia datang ke
terapis, namun ia telah bisa mengendalikan perilaku disfungsional dalam
interaksinya dengan orang lain.
·
Penyembuhan gejala
Pada tahap ini klien bisa mengalami
kelegaan ketidaknyamanan subjektif seperti kecemasan, depresi atau kebingungan.
·
Penyembuhan
transferensi
Pada tahap ini klien sudah mulai bisa
meninggalkan proses terapi, namun masih terkait dengan terapisnya.
·
Penyembuhan naskah
Pada tahap ini klien dinilai sudah
berubah secara substansial dan permanen dan tak lagi mengandalkan pola-pola
terapi dan masuk ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.
Eric Berne juga mengajukan gagasan bahwa
tujuan perubahan pribadi adalah otonomi. Maksudnya, diharapkan dengan terapi
ini klien menjadi mandiri, dapat mengimplikasikan kemampuan untuk memecahkan problem dengan
menggunakan sumber daya diri sendiri secara utuh untuk berpikir, merasakan, dan
berperilaku dalam merespons realitas yang ada. Komponen-komponen otonomi adalah
sebagai berikut;
·
Kesadaran artinya
kemampuan untuk mengalami berbagai hal
·
Spontanitas artinya
kemampuan untuk hidup dengan bebas, berdasarkan pilihan keadaan ego.
· Kedekatan dengan orang
lain, dalam pandangan analisis
transeksional artinya ekspresi terbuka terkait
keinginan, perasaan, dan kebutuhan tanpa berpura-pura atau memanipulasi.
Menurut
Corey, tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam
membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah
hidupnya. Sasaranya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan
dirinya dalam memilih telah dibatsai oleh putusan dini mengenai posisi
hidupnya.
Menurut Lutfi Fauzan,
tujuan terapi analisis transaksional dapat dibagi menjadi tujuan umum dan
tujuan khusus.
1.
Tujuan umum terapi
analisis transaksional, ialah membantu individu mencapai otonomi. Individu
dikatakan mencapai otonomi bilamana ia memliki Kesadaran, Spontanitas,
Keakraban.
2.
Tujuan khusus terapi
analisis transaksional, yaitu sebagai berikut;
· Terapis membantu klien
membebankan Status Ego Dewasanya dari kontaminasi dan pengaruh negatif Status
Ego Anak dan Status Ego Orang tua.
· Terapis membantu klien
menetapkan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan terlepas dari
perintah-perintah orang tua.
· Terapis membantu klien
untuk menggunakan semua status egonya secara tepat.
· Terapis membantu klien
untuk mengubah keputusan-keputusan yang mengarah pada posisi kehidupan “orang
kalah”.
3. Fungsi Terapi
Analisis Transaksional
Menurut Lutfi Fauzan (1994:70) Peran
konselor adalah sebagai guru, pelatih dan penyelamat dengan terlibat secara
penuh dengan konseli. Konselor berperan sebagai guru yang menjelaskan
teknik-teknik seperti analisis struktural, analisis transaksional, naskah
hidup, dan analisis game.
Di dalam analisis transaksional konselor
berperan sebagai : membantu klien menemukan kemampuan diri untuk berubah dengan
membuat keputusan saat sekarang., membantu klien memperoleh alat yang digunakan
untuk mencapai perubahan, mendorong dan mengajar klien mendasarkan diri pada
SED-nya sendiri dari pada SED konselor, menciptakan lingkungan yang memungkinkan
klien dapat membuat keputusan-keputusan baru dalam hidupnya dan keluar dari
rencana kehidupan yang menghambat perkembangannya.
4. Tujuan
Terapi Analisis Transaksional
a.
Analisis
Struktural
Analisis
struktural adalah alat yang bisa membantu klien agar menjadi sadar atas isi dan
fungsi Ego Orang Tua, Ego Orang Dewasa dan Ego Anaknya. Klien belajar mengenali
ketiga perwakilan ego-nya dan menemukan perwakilan ego yang menjadi landasan
tingkah lakunya. Analisis structural membantu klien dalam mengubah pola-pola yang
dirasa menghambat. Dua tipe masalah yang berkaitan dengan struktur kepribadian
bisa diselidiki melalui analisis structural: pencemaran dan penyisihan.
Pencemaran terjadi apabila isi perwakilan ego yang satu bercampur dengan isi
perwakilan ego yang lainnya. Penyisihan terdapat ketika ego yang satu tersisih
dan merintangi ego yang lainnya – yakni apabila garis-garis batas ego yang kaku
tidak memungkinkan gerakan bebas.
b.
Metode-metode
Didaktik
Analisis transaksional menekankan domain kognitif,
prosedur-prosedur belajar mengajar menjadi prosedur-prosedur dasar bagi analisis transaksional. Para anggota kelompok-kelompok transaksional diharapkan
mengenal analisis struktural dengan mengetahui landasan-landasan perwakilan
ego. Seringkali dianjurkan beberapa buku, mengikuti konferensi-konferensi dan
pendidikan-pendidikan yang berkaitan dengan analisis transaksional.
c.
Analisis
Transaksional
Analisis
transaksional pada dasarnya adalah suatu penjabaran atas apa yang dilakukan dan
dikatakan oleh orang-orang terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi di
antara orang-orang melibatkan suatu transaksi di antara perwakilan-perwakilan
ego mereka. Ada tiga tipe transaksi: komplementer (seseorang memperoleh respon
yang diperkirakan diberikan perwakilan ego orang lain), menyilang (respon yang
diterima tidak diharapkan diberikan pada suatu pesan), dan terselubung (
transaksi yang kompleks, lebih dari satu perwakilan ego terlibat serta adanya
pesan terrselubung pada orang lain).
d.
Kursi
Kosong
Klien
diminta untuk membayangkan bahwa seseorang sedang duduk di sebuah kursi dan
sedang berdialog. Prosedur ini memberi kesempatan pada klien untuk menyatakan
pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sikap-sikapnya selama dia menjalankan
peran-peran perwakilan-perwakilan ego-nya. Teknik kursi kosong dapat digunakan
oleh orang-orang yang mengalami konflik-konflik internal yang hebat guna
memperoleh fokus yang lebih tajam dan pegangan yang kongkret bagi upaya
pemecahan.
e.
Permainan
Peran
Dalam
terapi kelompok, seseorang anggota kelompok memainkan peran sebagai perwakilan
ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota lainnya, dan ia berbicara kepada
anggota tersebut. Bentuk permainan lainnya adalah permainan menonjolkan
gaya-gaya yang khas dari perwakilan ego yang konstan, atau permainan tertentu
lainnya agar memungkinkan klien memperoleh umpan balik tentang tingkah laku
sekarang dalam kelompok.
f.
Percontohan
Keluarga
Klien
diminta untuk membayangkan suatu adegan yang melibatkan banyak orang dalam
kenangan masa lalu termasuk diri klien. Klien menjadi sutradara, produser,
sekaligus aktor, menempatkan anggota kelompok dan dirinya pada situasi yang
dibayangkan. Diskusi, tindakan dan evaluasi dilakukan untuk mempertajam
kesadaran pada suatu situasi yang spesifik dan makna-makna pribadi yang masih
berlaku.
g.
Analisis
Upacara, Hiburan, dan Permainan
Penyusunan
waktu adalah bahan yang penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena ia
merefleksikan putusan-putusan tentang bagaimana menjalani transaksi dengan
orang lain dan memperoleh belaian. Orang yang menyusun waktunya terutama dengan
upacara-upacara dan hiburan-hiburan boleh jadi mengalami kekurangan belaian dan
karenanya dia kekurangan keakraban dalam transaksinya dengan orang lain.
h.
Analisis
Permainan dan Ketegangan
Analisis
permainan-permainan dan ketegangan-ketegangan adalah suatu aspek yang
penting bagi pemahaman sifat
transaksi-transaksi dengan orang lain. Hasil dari kebanyakan permaian adalah
perasaan tidak enak yang dalami oleh pemain. Penting bagi terapis untuk
mengamati dan memahami mengapa permainan-permainan yang dimainkan, apa hasil
permainan-permainan itu, belaian-belaian apa yang diterima, dan bagaimana
permainan-permainan itu membuat jarak dan menghambat keakraban. Belajar untuk
memahami ‘penipuan’ oleh seseorang dan bagaiman kaitan penipuan itu dengan permainan-permainan,
putusan-putusan dan skenario-skenario kehidupan adalah suatu proses yang
penting dalam terapi analisis transaksional.
i.
Analisis kkenario
Analisis
scenario adalah bagian dari proses terapi yang memungkinkan pola hidup yang
diikuti oleh individu bisa dikenali. Analisis scenario membuka
alternatif-alternatif baru yang menjadikan orang bisa memilih sehingga dia
tidak lagi merasa dipaksa memainkan permainan-permainan mengumpulkan
perasaan-perasaan untuk membenarkan tindakan tertentu yang dilaksanakan menurut
plot skenario. Analisis skenario bisa dilaksanakan dengan menggunakan suatu
daftar skenario yang berisi item-item yang berkaitan dengan posisi-posisi
hidup, penipuan-penipuan, permainan-permainan, yang semuanya merupakan
komponen-komponen fungsional utama pada scenario kehidupan individu.
Menurut Corey
secara umum teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam terapi
analisis transaksional, yaitu:
a.
Permission (pemberian kesempatan), dalam proses terapi,
pemberian kesempatan ini diberikan kepada kilen agar dapat;
·
menggunakan
waktunya secara efektif tanpa melakukan ritual pengunduran diri
·
mengalami
semua status ego yang biasanya dilakukan dengan mendorong klin menggunakan
kemampuan Status Ego Dewasa untuk menikmati kehidupan
·
tidak
memainkan permainan dengan cara tidak membiarkan klien memainkannya.
b. Protection (proteksi), klien mungkin akan merasa ketakutan
setelah ia menerima kesempatan untuk menghentikan perintah-perintah orang tua
dan menggunakan Status Ego Dewasa dan Status Ego Anak.
c. Potency (potensi), maksudnya seorang terapis tahu apa yang
akan dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu kemampuan terapis
terletak pada keahliannya, sehingga keterampilan tersebut efektif secara
optimal.
Menurut Berne
ada beberapa teknik khusus yang dapat dipakai dalam proses terapi, yaitu :
interogasi, spesifikasi, konfrontasi, eksplanasi, illustrasi, konfirmasi,
interprestasi, kristalisasi.
II.
Terapi Rasional Emotif
1. Konsep
Terapi Rasional Emotif
Terapi rasional emotif
yang diperkenalkan pada tahun 1955 oleh Albert Ellis yang lahir pada tanggal 27 September 1913 di Pittsburgh, Pennysylvania, yang kemudian dibesarkan di New York. Ia menjadi pengarang dengan status bebas, dan banyak menulis buku maupuna
rtikel, terutama mengenai seksualitas, disamping pernah pula sebagai manager
personalia. Ia juga bekerja sebagai psikolog klinis di New Jersey state
diagnostic center, setahun kemudian dia menggabungkan diri dengan New Jersey
departement of institutions and angencies di Trenton. Bersamaan dengan jabatannya,
sejak tahun 1943 mengkhusukkan diri pada psikoterapi dan konseling perkawinan. Ellis
termasuk ke dalam tokoh yang mepelopori seks terapi. Ia juga seorang psikoanalisis,
dia mendapati bahwa teori psikoanalasis yang dipelopori oleh Freud tidak mendalam
dan satu bentuk pemulihan yang tidak saintifik. Pada awal tahun 1955, beliau telah
menggabungkan terapi-terapi kemanusiaan, fisolofikal dan tingkah laku dan dikenali
sebagai teoriemosi-rasional (RET/ Rational Emotive Therapy). Semenjak itu beliau
terkenal sebagai bapak kepada teori RET dan salah satu tokoh teori tingkah laku
kognitif.
Terapi
rasional emotif menurut Ellis mendasarkan pada konsep bahwa berpikir dan berperasaan
saling berkaitan, namun dalam pendekatannya lebih menitik beratkan pada pikiran daripada ekpresi emosi seseorang terapi
ini menekankan bahwa manusia adalah manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk
berpikir rasional dan irasional. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk
memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan
orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga
memiliki kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran,
berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme,
dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Terapi ini
memberikan bantuan kepada klien untuk menantang dan memperbaiki keyakinan-keyakinan
irasional yang dianggap menimbulkan kesulitan-kesulitan emosional dan behavioral.
Untuk memahami lebih lanjut pada terapi rasional emotif terapi dikenal 2 konsep
utama yang mendasari yaitu:
a.
Teori
kepribadian
Pandangan
pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci
teori Albert Ellis: ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu
Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilarini
yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
1) Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar
individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau
sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi
masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
2) Belief
(B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diriindividu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional
(rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief
atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan
yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi produktif. Keyakinan
yang tidak rasional merupakan keyakinan atau system berpikir seseorang yang
salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
3) Emotional
consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu
dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent
event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan
oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun
yang iB.
b.
Asumsi
Tingkah Laku Bermasalah
Dalam
perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah,
didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang
irrasional. Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah:
1)
Tidak
dapat dibuktikan
2)
Menimbulkan
perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
3)
Menghalangi
individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab
individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
1) Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang,
antara kenyataan dan imajinasi.
2)
Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain.
3)
Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang
diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator sebab keyakinan
irasional adalah:
§ Manusia
hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala
sesuatu yang dikerjakan.
§ Banyak
orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga
mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum.
§ Kehidupan
manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat,
mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya.
§ Lebih
mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu daripada berusaha untuk
menghadapi dan menanganinya.
§ Penderitaan
emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya
mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut.
§ Pengalaman
masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan
perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang.
§ Untuk
mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang
menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural.
Dalam pandangan Ellis, keyakinan yang rasional berakibat pada perilaku
dan reaksi individu yang tepat, sedangkan keyakinan irrasional berakibat pada reaksi
emosional dan perilaku yang salah.
2. Tujuan
Terapi Rasional Emotif
Berangkat dari pandangannya
tentang hakikat manusia tujuan konseling menurut Ellis pada dasarnya membentuk pribadi
yang rasional, dengan jalan mengganti cara-cara berpikir irrasional. Dalam pandangan
Ellis, cara berpikir irrasional itulah yang menjadi individu mengalami gangguan
emosional dan karena itu cara-cara berpikirnya harus diubah menjadi yang lebih tepat
yaitu cara berpikir yang rasional. Mengemukakan secara tegas pengertian tersebut
mencakup minimal pandangan yang mengalahkan diri (self-defeating) dan mencapai kehidupan
yang lebih realistik, falsafah hidup yang toleran, termasuk didalamnya dapat mencapai
keadaan yang dapat mengarahkan diri, menghargai diri, fleksibel, berpikir ilmiah,
dan menerima diri. Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu maka perlu pemahaman
konseli tentang sistem keyakinan atau cara berpikir sendiri. Ada tiga tingkatan
insight yang perlu dicapai dalam RET, yaitu:
a. Pemahaman
(insight) dicapai ketika konseli memahami tentang perilaku penolakan diri yang
dihubungkan pada penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya
tentang peristiwa-peristiwa yang diterima yang lalu dan saat ini.
b.
Pemahaman
terjadi ketika konselor/terapis membantu konseli untuk memahami bahwa apa yang
mengganggu konseli pada saat ini adalah karena keyakinan yang irrasional terus dipelajari
dan yang diperoleh sebelumnya.
c. Pemahaman
yang dicapai pada saat konselor membantu konseli untuk mencapai pemahaman ketiga,
yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan emosional kecuali dengan mendeteksi
dan “melawan” keyakinan yang irrasional.
3. Peran
dan Fungsi Terapis atau Konselor Terapi Rasional Emotif
Peran terapis
atau konselor Rational Emotive Theraphy adalah
untuk mengetahui sebab-sebab yang melatar belakangi permasalahan klien. Terapis
atau konselor meneliti latar belakang permasalahan klien melaui serangkaian
wawancara dan informasi dari sejumlah sumber data.
Terapis atau konselor
disini fungsinya adalah sebagai fasilitator, pembimbing, dan pendamping klien.
Dalam perannya membantu klien mengatasi masalah-masalah yang sedang
dihadapinya, sehingga klien dapat secara sadar dan mandiri mengembangkan atau
meningkatkan potensi-potensi yang dimilikinya.
4. Teknik
Terapi Rasional Emotif
Rational
Emotive Behavior Therapy menggunakan berbagi
teknik yang bersifat kognitif, afektif, behavioral yang disesuaikan dengan
kondisi klien. Teknik-teknik Rational Emotive Behavior Therapy sebagai berikut:
a. Teknik-Teknik Kognitif
Adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir
klien. Dewa Ketut menerangkan ada empat tahap dalam teknik-teknik kognitif:
1)
Tahap Pengajaran
Dalam REBT,
konselor
mengambil peranan lebih aktif dari pelajar. Tahap ini memberikan keleluasaan
kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada klien,
terutama menunjukkan bagaimana ketidak logikaan berfikir itu secara langsung
menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
2)
Tahap Persuasif
Meyakinkan klien untuk mengubah
pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Dan Konselor
juga mencoba meyakinkan, berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang
dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
3)
Tahap Konfrontasi
Konselor mengubah ketidak logikaan
berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logika.
4)
Tahap Pemberian Tugas
Konselor memberi tugas kepada klien
untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya,
menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau
membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
b.
Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan
untuk mengubah emosi klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
1)
Teknik Sosiodrama
Memberi peluang mengekspresikan
berbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan
sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan,
tulisan atau melalui gerakan dramatis.
2) Teknik Self
Modelling
Digunakan dengan meminta klien
berjanji dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia
diminta taat setia pada janjinya.
3) Teknik Assertive
Training
Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien
dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
c.
Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi Rasional
Emotif banyak
menggunakan teknik behavioristik terutama dalam hal upaya modifikasi perilaku
negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan
tidak logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik
adalah:
1)
Teknik reinforcement
Teknik reinforcement
(penguatan),
yaitu: untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis
dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik
ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang
irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.
2)
Teknik social modeling (pemodelan sosial)
3) Teknik social modeling (pemodelan sosial), yaitu: teknik untuk
membentuk perilaku-perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien
dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara mutasi
(meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan
norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah tertentu yang telah
disiapkan konselor.
4)
Teknik live models
Teknik live
models (mode
kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan untuk menggambar
perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks
dalam bentuk percakapanpercakapan sosial, interaksi dengan memecahkan
masalah-masalah.
Sumber
Referensi:
· Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kansius.
·
Singgih, D. G. (1992). Konseling dan terapi. Jakarta: PT Bpk
Gunung mulia
· Correy,
G. (2003). Teori dan praktek dari konseling dan psikoterapi (Ed. 4). (Penerj: E. Koeswara). Bandung: Refika Aditama.
·
Fauzan, Lutfi. (2001). Pendekatan-pendekatan
Konseling Individual. Malang: Elang Mas.
0 comments:
Post a Comment